Halaman

30 April 2013

Di Akhir Malam Nanti, Jangan Lupa Sampaikan Harap

"Dirikanlah Sholat dua rokaat di sepertiga malam yang akhir 
untuk menghadapi gelapnya alam kubur". (Abu Darda ra.)

  • Disana, Sampaikan harap kita untuk karunia yang melimpah
  • Disana. sampaikan harap kita untuk lepas dari kesulitan dan desakan kebutuhan
  • Disana, sampaikan harap kita terhadap ampunan dan kemulyaan-Nya
  • Disana, sampaikan hapar kita untuk terbebas dari kegelisahan
  • Disana, sampaikan hapar kita untuk meraih kemulyaan
  • Disana, sampaikan hapar kita untuk sembuh dari segala macam sakit yang mendera
  • Disana, sampaikan hapar kita untuk mendapat Ridho dan Syurga-Nya
Bangun diakhir malam, mungkin memang berat. Tapi, menyerah tentu bukanlah pilihan, sebab impian dan harap perlu diwujudkan. keinginan dan asa harus menjadi kenyataan. Meskipun barangkali tidak setiap malam bisa kita lakukan atau hanya mampu melakukan sekedar dua rokaat saja, pasti harus ada usaha.
karena kita butuh dan perlu kepada akhir malam itu. terlalu banyak kebaikan yang kita sia-siakan jika kita selalu mengabaikannya. Dan terlalu banyak harap yang tak terwujud jika kita menjauhinya.

29 April 2013

Rinduku Pada Sang Murabbi

Aku Rindu Dengan Zaman Itu
Aku rindu zaman ketika “halaqoh” adalah kebutuhan,bukan sekedar sambilan apalagi hiburan
Aku rindu zaman ketika “membina” adalah kewajiban,bukan pilihan apalagi beban dan paksaan
Aku rindu zaman ketika “dauroh” menjadi kebiasaan,bukan sekedar pelengkap pengisi program yang dipaksakan
Aku rindu zaman ketika “tsiqoh” menjadi kekuatan,bukan keraguan apalagi kecurigaan
Aku rindu zaman ketika “tarbiyah” adalah pengorbanan,bukan tuntutan dan hujatan
Aku rindu zaman ketika “nasihat” menjadi kesenangan,bukan su’udzon atau menjatuhkan
Aku rindu zaman ketika kita semua memberikan segalanya untuk da’wah ini
Aku rindu zaman ketika “nasyid ghuroba” menjadi lagu kebangsaan
Aku rindu zaman ketika hadir di “liqo” adalah kerinduan, dan terlambat adalah kelalaian
Aku rindu zaman ketika malam gerimis pergi ke puncak mengisi dauroh dengan ongkos ngepas dan peta tak jelas
Aku rindu zaman ketika seorang ikhwah benar-benar jalan kaki 2 jam di malam buta sepulang tabligh da’wah di desa sebelah
Aku rindu zaman ketika akan pergi liqo selalu membawa uang infak, alat tulis, buku catatan dan Qur’an terjemahan ditambah sedikit hafalan
Aku rindu zaman ketika seorang binaan menangis karena tak bisa hadir di liqo
Aku rindu zaman ketika tengah malam pintu depan diketok untuk mendapat berita kumpul subuh harinyaAku rindu zaman ketika seorang ikhwah berangkat liqo dengan ongkos jatah belanja esok hari untuk keluarganya
Aku rindu zaman ketika seorang murobbi sakit dan harus dirawat, para binaan patungan mengumpulkan dana apa adanya
Aku rindu zaman itu,
Aku rindu…Ya ALLAH,Jangan Kau buang kenikmatan berda’wah dari hati-hati kami
Jangan Kau jadikan hidup ini hanya berjalan di tempat yang sama.
Jangan kau jadikan diri ini lebih mencintai dunia dari pada kenikmatan kehidupan setelah kematian.
Ya Alloh selalu perbaharuilah iman dalam Qolbi kami. Amin.
Allohumma sholli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad.
@salam dakwah_selalu merindu sang murobbi.

Sholawat Nariyah

Di surau sana….
terdengar lantunan shalawat…
Suaranya merdu dan nadanya sendu..
Allohumma shollii sholaatan kaamilatan..
Wa usholli salaaman taamman..’Alaa sayyidina Muhammad…
Alladzii tanhallu bil ‘uqodu..Wa tanfariju bihil kurobu…
Wa tuqdlo bihil hawaiju..Wa tunaalu bihir Raghaibu…
Hatiku miris… Lisanku berucap laa ilahaa illallah…
Kesyirikan apa ini…
Kata mereka Nabi Muhammad bisa memutuskan semua ikatan…
Bisa menghilangkan kesusahan…
Bisa memenuhi kebutuhan…
Dengan beliau bisa meraih yang kita inginkan…
Maha suci Allah…Tak berhak makhluk disifati dengan sifat ilah
Setinggi apapun derajatnya Seakan firman Allah telah hilang…قل لا أملك لنفسي نفعا ولا ضرإ إلا ما شاء الله”
Katakan, aku tidak dapat memiliki untuk diriku manfaat dan mudlarat kecuali apa yang Allah kehendaki.” (Al A’raf: 188).
Nabi atau wali..Manusia biasa yang tak dapat memberi manfaat dan mudlarat…
Kita meyakini akan ketinggian derajat mereka…
Kita pun mencintai mereka dengan sepenuh hati…
Namun bukan cinta yang berlebihan…
Dengan menyamakan mereka dengan pencipta alam…Laa ilaaha illallah…
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan..لا تطروني كما أطرت النصارى عيسى بن مريم”Janganlah berlebihan memujiku..Seperti kaum Nashrani memuji Isa bin Maryam.”

Sumber : salamdakwah.com
Ust. Abu yahya badrussalam, Lc

Cerita Indah Bersama Sang Murabbi

Suatu saat di kemudian hari, ketika semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada di antara mereka yang bercerita tentang perjuangan yang indah. Sang Pejuang sejati yang tak pernah kehabisan energi untuk terus bergerak, meski berada ditengah kerasnya kehidupan kampus dengan beragam fitnah dan godaan yang menggiurkan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah”
Sabtu hari ini, Kampus yang saya tempati sekarang untuk mengadu nasib nampak begitu sepi, sunyi dan tidak menampakkan sesuatu tempat yang menarik untuk sekedar mampir ‘nongkrong’. Hanya gedung-gedung tinggi yang berdiri angkuh dengan perawakan modern yang menandakan adanya aktifitas di sana. Ya, maklum saja karena hari ini adalah akhir pekan, yang konon kabarnya orang-orang di sini sangat menghargai hari liburnya. Begitu juga dengan diri ini, karena kondisi badan agak lelah bergelut dengan hiruk pikuk dan senda gurau dunia selama beberapa hari, seakan kuingin menghabiskan hari ini di kamar college penginapan saja. Meskipun sebenarnya sudah kuagendakan hari ini untuk ngumpul dengan kawan-kawan sesama pelajar Indonesia, tapi rasa malas menghinggapi diri ini plus bisikan hati yang tak mengizinkan saya untuk pergi, karena biasanya agenda ‘ngumpul’ semacam itu kurang ‘bermakna’ bagi saya.
Entah mengapa, tiba-tiba saya juga begitu malas untuk sekedar buka facebook or twitter yang pada hari-hari biasanya menemani dikala sepi. Saya memilih untuk meraih tas kecilku yang biasa kuletakkan disudut ruangan itu, perhatianku tertuju pada sebuah buku agenda sederhana bercorak hitam dalam tas itu yang sepertinya sepekan ini jarang kubuka lagi. Sembari sedikit tersenyum, kubuka halaman demi halaman buku itu, buku yang cukup menginspirasiku untuk tetap bergerak dan bertahan (sambil teringat kata-kata spesial seorang junior waktu itu: “tetaplah di sini akhee”). Buku ini tak ada nama spesial untuknya, namun ia adalah teman spesial yang selalu menemaniku kemanapun saya pergi, bahkan ke luar negeri sekalipun, buku ini tak kubiarkan ketinggalan ketika saya pergi jauh, karena di dalamnya banyak ‘harta warisan Rasulullah’ yang telah dibagikan oleh beberapa guru saya ketika masih studi di Kampus Merah dulu. Lalu sejurus kemudian ingatanku melayang jauh ke masa lalu, beberapa tahun silam, saat aku pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Unhas, kampus yang dulunya terkenal sebagai perguruan tinggi terfavorit di kawasan Timur Indonesia. Sedikit bangga bisa mengeyam pendidikan di salah satu kampus ternama di Indonesia itu, terlebih saat mengingat kembali masa datangnya cahaya hidayah itu, ya, Kampus inilah yang menjadi saksi bisunya. Hati ini terasa rindu sekali berada pada masa itu. Rindu pada sosok yang ketika itu, tiga, empat atau lima tahun yang lalu, dia adalah seorang guru yang sederhana, ramah dengan senyum khas dan sapaan lembutnya saat menjumpai kami, murid-muridnya. Sekilas, tak ada yang istimewa dengan penampilannya sebagai seorang guru, mungkin berbeda dengan professor-doktor yang sering kita jumpai di kampus dengan perawakan angkuh dan gaya modis masa kini. Beliau selalu ceria bersama kami, meskipun terkadang matanya nampak sayu pertanda memang dia dalam kondisi lelah dengan beragam aktivitas dakwahnya.
Setiap pekan, setelah shalat Ashar, dia selalu sabar dan setia menunggui kami di pojok masjid kampus lantai dua, ditemani lampu yang tak terlalu terang, namun terkadang juga dia yang membangunkan dan mengingatkan kami akan jadwal tabiyah, ketika kami bermalas-malasan atau keasyikan nongkrong dengan ikhwa di lantai satu masjid kampus. Sekali lagi, dengan sabarnya menanti kami -muridnya- yang sementara antri untuk mandi, sikat gigi, berwudhu dan mempersiapkan segala sesuatunya, lalu setelah satu demi satu hadir, dimulailah pembelajaran itu. Sebuah lingkaran kecil dengan lima, enam, tujuh, sampai sepulu orang lebih (tak menentu) peserta dan satu pemandu. Dengan sabar dan tekun ia sampaikan materi demi materi setiap pekannya. Dan menurutku, ia adalah guru yang paling sabar yang pernah kutemui. Yang dengan telaten membimbing kami, yang masih penuh dengan lumuran kemaksiatan dan kegelapan jahiliyah, untuk kemudian membimbing kepada cahaya hidayah Allah. Walaupun kadang, dan bahkan sering adanya kami membuat beliau kecewa, datang telat, pada saat belajar sering ngantuk, dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi, beliau tetap tidak marah. Tetap sabar dan telaten mengajari kami tentang Islam yang sesungguhnya. Ah, aku rindu dengan orang ini. Aku rindu sentuhan lembutnya ketika membangunkan pada saat kami tertidur disela–sela materi yang disampaikan. Aku rindu suara khasnya ketika mengingatkan kepada kami “Akhi, hari ini jadwal tarbiyah ya. Ingatkan ikhwa yang lain, kumpul di Masjid Kampus Unhas”, ujarnya lembut. Aku rindu bersama dengannya. Dia adalah salah seorang guru yang membimbing kami menuju hakikat muslim sejati. Semoga engkau dalam lindunganNya selalu.
Tak terasa air menetes dipipi (bukan terkesan lebay) ketika mengingat itu semua. Ya, kebersamaan dengan saudara-saudaraku dalam satu halaqah tarbiyah, meskipun tak bisa dipungkiri dalam sepekannya terkadang berganti-berganti dan kadang juga ada ‘bintang tamu’ sebagai peserta baru, tapi itulah keunikan dan warna tersendiri dari kelompok tarbiyah kami yang dengannya dapat mempersatuakan kami dari beragam karakter yang berbeda atau bahasa kerennya ‘ukhuwah fillah’ -persaudaraan dan kebersamaan karena Allah-. Seperti yang pernah diungkapkan juga oleh salah seorang guru dengan bahasanya yang lembut dan mengalir, bahwa keimanan benar-benar telah mengikat hati para hamba Allah dalam kasih sayang yang menggetarkan. Ini bukan lagi ikatan-ikatan semu: garis darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit, karena Islam telah memproklamirkan sebuah majelis mulia yang di sana duduk mesra Abu Bakar bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman Pengembara Persia, dan tentu juga Bilal, bekas budak Negro Habasyah. Mereka selalu merasa indah dalam kebersamaan. Seperti juga kata salah satu teman dalam statusnya di jejaring sosial, bahwa persaudaraan itu sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Dan memang benar adanya, kebersamaan dalam bingkai keimanan akan selalu indah, nikmat, karena didalamnya sudah tersemai bibit keberkahan dalam do’a-do’a seseorang kepada saudaranya. “sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kelak Ar Rahman akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Dengan seksama kubuka lembaran demi lembaran dan membaca goresan pena dengan kata-kata yang mengalir indah penuh hikmah dan pelajaran di buku tersebut, bukan hanya itu, dalam buku itu tercatat juga beberapa kejadian penting beserta dengan tanggal yang masih sangat jelas pada hari itu, menggiring memori ini kembali terbang ka masa lalu, saat dimana pertama kali berjumpa dengan wajah-wajah lelah namun memancarkan cahaya keikhlasan. Ya, bersama orang-orang itu, bersama dalam naungan jalan dakwah ini terasa begitu indah. Teringat saat malam-malam, dini hari, disaat yang orang lain mungkin terlelap dalam tidurnya, tapi justru kami melakukan koordinasi dan musyawarah dengan beberapa orang yang belum terlalu lama aku kenal waktu itu, memikirkan nasib mahasiswa muslim yang belum mengenal Islam dengan baik. Kami biasa berkumpul di sana, padahal kami tidak berasal dari daerah yang sama, kami mempunyai latar belakang yang berbeda, kami pun tidak satu fakultas, bukan juga satu jurusan. Kami bertemu karena satu tujuan, kami bertemu karena satu pemikiran, kami bertemu karena satu pemahaman. LDK MPM UNHAS, itulah wadah yang mempertemukan saya dengan mereka. Hari-hari pun terlewati dengan beragam aktivitas dakwah dengan segala suka dukanya, membuat spanduk, membuat baliho, menata ruangan untuk persiapan kegiatan Dakwah Kampus (maklum saat itu masih serba manual: membuat spanduk dari guntingan-guntingan kertas, membuat baliho dari beberapa lembar triples yang di cat manual dan sebagainya) meskipun terasa sulit tapi alhamdulillah itu adalah salah satu kesempatan untuk mengambil bagian dalam kerja dakwah dan setidaknya berkat ‘kemanualan’ itu sehingga mendidik kami semua menjadi aktivis dakwah yang kreatif pada zaman itu. Saya belum menyadari sepenuhnya waktu itu kalau mereka (teman seperjuangan waktu itu) bakal menjadi ‘orang penting’ di LDK pada zamannya. Begitulah kebersamaan kami, dengan misi mulia, tujuan mulia, yang melahirkan pejuang super heroik dalam rangka menggapai keberkahan Allah Azza wa Jalla. Mungkin tidak seheroik perjuangan Bilal ketika disiksa oleh tuannya, juga tidak seheroik sekelompok pasukan Badar saat menghancurkan ribuan kaum Musyrikin Quraisy, tidak sehebat Khalid Bin Walid dan pasukaannya ketika memimpin peperangan, namun setidaknya, kekuatan sebuah kebersamaan akan tetap indah, nikmat, dan selalu mengundang kerinduan bagi kami, atau setidaknya bagi diri saya sendiri. (bukan bermaksud mengungkap dan membesar-besarkan apa yang telah kami lakukan dalam dakwah, tapi setidaknya ini dapat menjadi penawar bagi jiwa yang lelah agar bisa tetap bertahan).
Kerikil-kerikil kecil penguji keikhlasan kadang menghampiri kami, ditambah dengan kerasnya kehidupan kampus dan beragam fitnah yang menggiurkan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah, tapi nasehat-nasehat berharga dari Sang Murabbi (begitu kami biasa memanggilnya) mengalir dan menyejukkan hati, sekan beliau mengerti akan kondisi kami, sehingga tak bosan-bosannya memberi motivasi bagi jiwa yang rapuh ini.
Cerita tentang indahnya kebersamaan masih menghiasi lamunanku hari ini. Indahnya dalam naungan ukhuwah dan mencintai saudara seiman. Kebersamaan dalam aktivitas dakwah dan kebersamaan dalam menuntut ilmu agama. Teringat dengan dengan acknowledgement yang saya abadikan dihalaman awal skripsi saya dulu yang kuperuntukkan bagi ikhwa seperjuangan saya di LDK “seandainya waktu bisa dihentikan saat menikmati kebersamaan itu, maka seakan aku tak ingin ada hari esok lagi” mungkin sebagian orang pada saat itu ketika membaca pernyataan ini menganggapnya lebay atau sekedar basa basi, tapi jujur memang demikianlah adanya. Teringat saat bersebelas orang mendengarkan materi dari Sang Murabbi di rumah salah seorang ikhwa (karena atas undangannya, sehingga tempat tarbiyah saat itu dipindahkan) dan menikmati hidangan makanan dengan nuansa kebersanmaan malam itu. Teringat saat bermajlis ‘ilmu kemudian dilanjutkan dengan jamuan makan malam ‘Coto Makassar’. Teringat saat mendengarkan materi dari Sang Murabbi ditengah dinginnya malam di wilayah pegunungan Malino Sulawesi Selatan, sambil sesekali melihat wajah saudara tercinta, ada yang matanya memerah karena kelelahan, ada yang teklak-tekluk, karena mengantuk yang didukung oleh dinginnya malam itu, ada yang dengan seriusnya mendengarkan, hingga tak terasa matanya terpejam, ada yang senyam-senyum sambil sesekali memegangi HP melihat ada sms masuk atau tidak, ada yang dengan baju rapi, berkopiah, tetap serius mendengarkan materi dari sang guru, dan berbagai keunikan lainnya yang membuat bibir ini tak kuasa untuk menahan senyum.
Keesokan harinya kami menikmati kebersamaan itu di air terjun Takapala, air terjun ini terletak kurang lebih 5 kilometer dari pusat Kota Malino Kabupaten Gowa, ini memang jadi salah satu tujuan utama untuk mereka para pencari pesona keindahan alam, ataupun untuk mereka yang mencari ketenangan pikiran sehabis bergelut dengan kertas kertas legal di kantornya masing-masing. Tapi tidak bagi kami saat itu, kami tidak mencari ketenangan di sana, kami hanya ingin sekedar membuat warna baru bagi kelompok tarbiyah kami sekaligus melihat ‘keluarbiasaan’ maha karya Sang Pencipta Kehidupan ini. Masya Allah, Sungguh Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Kami menikmati kebersamaan itu di bawah percikan air terjun yang sangat dingin, menusuk hingga ke lapisan kulit terdalam. Belajar berenang bersama ustadz hingga kami menggigil kedinginan yang memaksa kami untuk sejenak berjemur dan menikmati ubi goreng di atas batu-batu yang berserakan, semua terasa sangat indah saat itu.
Ingin rasanya aku kembali ke masa itu, kembali bersama saudara-saudara tercinta, kembali merasakan nikmatnya kebersamaan dalam perjuangan, rindu kembali bersama sosok yang telah mengajarkan kepadaku tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, kesungguhan, komitmen, konsisten, semangat dalam berjuang menyeru kepada kebaikan. Dan memang kebersamaan tersebut telah menjadikan satu kenangan terindah yang tidak akan pernah kulupakan. Dan aku hanya bisa berdo’a kepada Allah, semoga keistiqomahan dalam perjuangan ini selalu mengiringi langkah-langkah mereka saat ini dan selamanya. Kalau dulu mereka adalah para pejuang-pejuang tangguh yang rela mewakafkan diri sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, semoga saat ini pun mereka tetap tangguh, dan lebih tangguh lagi dalam berjuang. Dan semoga kita  nanti berjumpa kembali dan melepas kerinduan yang mendalam itu di surga-Nya Allah. Tentu saat ini walaupun fisik ini berjauhan, tetapi ikatan yang bernama ukhuwah akan tetap terpateri dalam hati yang terdalam, akan tetap terukir indah dalam pahatan peradaban. Dan sebentar lagi, hasil yang telah disemai dahulu ‘walaupun kecil’ akan segera kita nikmati hasilnya, dengan kekuatan kebersamaan, walaupun jauh, tetapi aura kemenangan akan senantiasa terpancar seiring gerak langkah kaki kita. Islam akan tegak dengan setegak-tegaknya, dan ternyata saudaraku, itu adalah salah satu bagian perjuangan kita, walau hanya sekadar mengajar mahasiswa baru untuk baca Qur’an, tetapi setidaknya kita telah mempersiapkan generasi terbaik untuk kejayaan Islam.
Cerita tentang hangatnya ukhuwah masih akan terus berlanjut. Cerita tentang kebersamaan dalam perjuangan, merenda dan memintal benang-benang peradaban bersama orang-orang yang ikhlas membawa misi ini, masih akan terus berlanjut sampai kapan pun. Meskipun ternyata itu sangat sulit setidaknya sulit buatku, karena untuk mencapai tahap itu kita sepertinya harus melewati fase awal dari perjuangan, yakni melawan nafsu diri agar mampu bersabar dalam kebersamaan. Dan untuk selanjutnya, biarkan ukhuwah yang akan menuntun kita, aku, engkau dan semua yang menghadirkan cinta dalam hati terhadap saudara seiman menuju tangga kemuliaan yang tertinggi, yang akan memuliakan kita dan membuat hidup kita lebih bermakna. Karena kebersamaan dalam persaudaraan itu sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Akhee.. Dunia ini bukan tempat istirahat. Sejatinya, tidak pernah ada kata berhenti untuk terus bertindak, karena dakwah adalah warisan para Rasul Allah. Serpihan-serpihan kebenaran yang kita pungut sepanjang perjalanan hidup ini yang kemudian akan mengajarkan kita untuk menjadi manusia berbudi. Semoga kebersamaan ini akan tetap abadi, dan akan menjadi cerita indah suatu ketika, antara aku, antum dan kita semua. Insya Allah


Image
Kenapa Wanita DIWAJIBKAN berjilbab :

  1. Karena Jilbab adalah perkara yang diperintahkan Alloh SWT.
  2. Karena Jilbab adalah bukti dari Keimanan,
Kalau orang yang memilki iman dia harus Konsekuensi terhadap Iman yang dipeluknya, hendaklah dia (wanita) sami’na wa atokna. Dia mendengarkan perintah Alloh dan Rasulnya kemudian dia menjalankan perintah tersebut tanpa ada kompromi.
  1. Karena Jilbab untuk membedakan dengan wanita kafir.
  2. Karena Jilbab adalah lambang rasa malu.
  3. Karena seluruh tubuh wanita adalah amanah, tubuh wanita itu seluruhnya fitnah yang harus terjaga rapi, tertutup dan bukan untuk dijajakkan.
  4. Karena Jilbab adalah sebuah kehormatan, wanita yang menjajakkan tubuhnya dia sangatlah murah harganya.
  5. Karena Jilbab adalah lambang kesucian.
  6. Karena Jilbab adalah lambang kecemburuan.
  7. Karena Jilbab untuk menghindarkan Fitnah Syahwat dari laki-laki.
  8. Karena Jilbab untuk menjaga Rumah Tangga kaum muslimin
  9. Karena ada azab yang akan menimpa mereka
  10. Karena Alloh menciptakan  pada diri wanita itu syahwat.
  11. Karena Jilbab untuk menjaga hati.
  12. Agar menghindarkan mereka dari azab Neraka.
  13. Karena kulit wanita itu sensitive terhadap penyakit dan rambut kalau terkena matahari mudah rusak, maka harus ditutup dengan jilbab.
  14. Menutup syetan dalam menggoda wanita.

Hakekat Jilbab :
  1. Jilbab secara bahasa arab adalah baju atau pakaian yang menutupi seluruh tubuh
QS. Al Ahzab : 59 dan QS. An Nur 31.
  1. Kerudung (khimar) kerudung atau kain yang menutupi kepala sampai kedada.
 Syarat-syarat BERJILBAB yang sesuai dengan syariat agar tidak sia-sia dan berbuah pahala disisi Alloh :
  1. Jilbab tersebut tidak membentuk tubuh, maka pakailah pakaian yang longgar dan kerudung yang besar
  2. Tidak boleh transparan / tipis
  3. Tidak menyerupai wanita-wanita kafir, seperti pakaian Biarawati, dll.
  4. Tidak menyerupai pakaian pria.
  5. Bukan pakaian Syughroh (pakaian yang sangat mahal dan sangat jelek)
  6. Tidak dibubuhi minyak wangi.
  7. Tidak menarik perhatian laki-laki.
Contoh : memakai warna yang mencolok atau memakai hiasan-hiasan yang indah.
  1. Tidak boleh Tabarruj (berdandan) ketika keluar rumah.
Warna pakaian yang paling baik untuk wanita adalah warna yang menjauhi fitnah itu semakin baik.