Suatu saat di kemudian hari, ketika semua telah menjadi masa lalu,
aku ingin berada di antara mereka yang bercerita tentang perjuangan yang
indah. Sang Pejuang sejati yang tak pernah kehabisan energi untuk terus
bergerak, meski berada ditengah kerasnya kehidupan kampus dengan
beragam fitnah dan godaan yang menggiurkan untuk berhenti atau bahkan
berpaling arah”
Sabtu hari ini, Kampus yang saya tempati sekarang untuk mengadu nasib
nampak begitu sepi, sunyi dan tidak menampakkan sesuatu tempat yang
menarik untuk sekedar mampir ‘nongkrong’. Hanya gedung-gedung tinggi
yang berdiri angkuh dengan perawakan modern yang menandakan adanya
aktifitas di sana. Ya, maklum saja karena hari ini adalah akhir pekan,
yang konon kabarnya orang-orang di sini sangat menghargai hari liburnya.
Begitu juga dengan diri ini, karena kondisi badan agak lelah bergelut
dengan hiruk pikuk dan senda gurau dunia selama beberapa hari, seakan
kuingin menghabiskan hari ini di kamar college penginapan saja. Meskipun
sebenarnya sudah kuagendakan hari ini untuk ngumpul dengan kawan-kawan
sesama pelajar Indonesia, tapi rasa malas menghinggapi diri
ini plus bisikan hati yang tak mengizinkan saya untuk pergi, karena
biasanya agenda ‘ngumpul’ semacam itu kurang ‘bermakna’ bagi saya.
Entah mengapa, tiba-tiba saya juga begitu malas untuk sekedar
buka facebook or twitter yang pada hari-hari biasanya menemani dikala
sepi. Saya memilih untuk meraih tas kecilku yang biasa kuletakkan
disudut ruangan itu, perhatianku tertuju pada sebuah buku agenda
sederhana bercorak hitam dalam tas itu yang sepertinya sepekan ini
jarang kubuka lagi. Sembari sedikit tersenyum, kubuka halaman demi
halaman buku itu, buku yang cukup menginspirasiku untuk tetap bergerak
dan bertahan (sambil teringat kata-kata spesial seorang junior waktu
itu: “tetaplah di sini akhee”). Buku ini tak ada nama spesial untuknya,
namun ia adalah teman spesial yang selalu menemaniku kemanapun saya
pergi, bahkan ke luar negeri sekalipun, buku ini tak kubiarkan
ketinggalan ketika saya pergi jauh, karena di dalamnya banyak ‘harta
warisan Rasulullah’ yang telah dibagikan oleh beberapa guru saya ketika
masih studi di Kampus Merah dulu. Lalu sejurus kemudian ingatanku
melayang jauh ke masa lalu, beberapa tahun silam, saat aku pertama kali
menginjakkan kaki di Kampus Unhas, kampus yang dulunya terkenal sebagai
perguruan tinggi terfavorit di kawasan Timur Indonesia. Sedikit bangga
bisa mengeyam pendidikan di salah satu kampus ternama di Indonesia itu,
terlebih saat mengingat kembali masa datangnya cahaya hidayah itu, ya,
Kampus inilah yang menjadi saksi bisunya. Hati ini terasa rindu sekali
berada pada masa itu. Rindu pada sosok yang ketika itu, tiga, empat atau
lima tahun yang lalu, dia adalah seorang guru yang sederhana, ramah
dengan senyum khas dan sapaan lembutnya saat menjumpai kami,
murid-muridnya. Sekilas, tak ada yang istimewa dengan penampilannya
sebagai seorang guru, mungkin berbeda dengan professor-doktor yang
sering kita jumpai di kampus dengan perawakan angkuh dan gaya modis masa
kini. Beliau selalu ceria bersama kami, meskipun terkadang matanya
nampak sayu pertanda memang dia dalam kondisi lelah dengan beragam
aktivitas dakwahnya.
Setiap pekan, setelah shalat Ashar, dia selalu sabar dan setia
menunggui kami di pojok masjid kampus lantai dua, ditemani lampu yang
tak terlalu terang, namun terkadang juga dia yang membangunkan dan
mengingatkan kami akan jadwal tabiyah, ketika kami bermalas-malasan atau
keasyikan nongkrong dengan ikhwa di lantai satu masjid kampus. Sekali
lagi, dengan sabarnya menanti kami -muridnya- yang sementara antri untuk
mandi, sikat gigi, berwudhu dan mempersiapkan segala sesuatunya, lalu
setelah satu demi satu hadir, dimulailah pembelajaran itu. Sebuah
lingkaran kecil dengan lima, enam, tujuh, sampai sepulu orang lebih (tak
menentu) peserta dan satu pemandu. Dengan sabar dan tekun ia sampaikan
materi demi materi setiap pekannya. Dan menurutku, ia adalah guru yang
paling sabar yang pernah kutemui. Yang dengan telaten membimbing kami,
yang masih penuh dengan lumuran kemaksiatan dan kegelapan jahiliyah,
untuk kemudian membimbing kepada cahaya hidayah Allah. Walaupun kadang,
dan bahkan sering adanya kami membuat beliau kecewa, datang telat, pada
saat belajar sering ngantuk, dan lain sebagainya. Tetapi sekali lagi,
beliau tetap tidak marah. Tetap sabar dan telaten mengajari kami tentang
Islam yang sesungguhnya. Ah, aku rindu dengan orang ini. Aku rindu
sentuhan lembutnya ketika membangunkan pada saat kami tertidur
disela–sela materi yang disampaikan. Aku rindu suara khasnya ketika
mengingatkan kepada kami “Akhi, hari ini jadwal tarbiyah ya. Ingatkan
ikhwa yang lain, kumpul di Masjid Kampus Unhas”, ujarnya lembut. Aku
rindu bersama dengannya. Dia adalah salah seorang guru yang membimbing
kami menuju hakikat muslim sejati. Semoga engkau dalam lindunganNya
selalu.
Tak terasa air menetes dipipi (bukan terkesan lebay) ketika mengingat
itu semua. Ya, kebersamaan dengan saudara-saudaraku dalam satu halaqah
tarbiyah, meskipun tak bisa dipungkiri dalam sepekannya terkadang
berganti-berganti dan kadang juga ada ‘bintang tamu’ sebagai peserta
baru, tapi itulah keunikan dan warna tersendiri dari kelompok tarbiyah
kami yang dengannya dapat mempersatuakan kami dari beragam karakter yang
berbeda atau bahasa kerennya ‘ukhuwah fillah’ -persaudaraan dan
kebersamaan karena Allah-. Seperti yang pernah diungkapkan juga oleh
salah seorang guru dengan bahasanya yang lembut dan mengalir, bahwa
keimanan benar-benar telah mengikat hati para hamba Allah dalam kasih
sayang yang menggetarkan. Ini bukan lagi ikatan-ikatan semu: garis
darah, kabilah, kewilayahan, ras, dan warna kulit, karena Islam telah
memproklamirkan sebuah majelis mulia yang di sana duduk mesra Abu Bakar
bangsawan Arab, Shuhaib imigran Romawi, Salman Pengembara Persia, dan
tentu juga Bilal, bekas budak Negro Habasyah. Mereka selalu merasa indah
dalam kebersamaan. Seperti juga kata salah satu teman dalam statusnya
di jejaring sosial, bahwa persaudaraan itu sebening prasangka, sepeka
nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji. Dan memang
benar adanya, kebersamaan dalam bingkai keimanan akan selalu indah,
nikmat, karena didalamnya sudah tersemai bibit keberkahan dalam
do’a-do’a seseorang kepada saudaranya. “sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal shalih, kelak Ar Rahman akan menanamkan dalam hati
mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Dengan seksama kubuka lembaran demi lembaran dan membaca goresan pena
dengan kata-kata yang mengalir indah penuh hikmah dan pelajaran di buku
tersebut, bukan hanya itu, dalam buku itu tercatat juga beberapa
kejadian penting beserta dengan tanggal yang masih sangat jelas pada
hari itu, menggiring memori ini kembali terbang ka masa lalu, saat
dimana pertama kali berjumpa dengan wajah-wajah lelah namun memancarkan
cahaya keikhlasan. Ya, bersama orang-orang itu, bersama dalam naungan
jalan dakwah ini terasa begitu indah. Teringat saat malam-malam, dini
hari, disaat yang orang lain mungkin terlelap dalam tidurnya, tapi
justru kami melakukan koordinasi dan musyawarah dengan beberapa orang
yang belum terlalu lama aku kenal waktu itu, memikirkan nasib mahasiswa
muslim yang belum mengenal Islam dengan baik. Kami biasa berkumpul di
sana, padahal kami tidak berasal dari daerah yang sama, kami mempunyai
latar belakang yang berbeda, kami pun tidak satu fakultas, bukan juga
satu jurusan. Kami bertemu karena satu tujuan, kami bertemu karena satu
pemikiran, kami bertemu karena satu pemahaman. LDK MPM UNHAS, itulah
wadah yang mempertemukan saya dengan mereka. Hari-hari pun terlewati
dengan beragam aktivitas dakwah dengan segala suka dukanya, membuat
spanduk, membuat baliho, menata ruangan untuk persiapan kegiatan Dakwah
Kampus (maklum saat itu masih serba manual: membuat spanduk dari
guntingan-guntingan kertas, membuat baliho dari beberapa lembar triples
yang di cat manual dan sebagainya) meskipun terasa sulit tapi
alhamdulillah itu adalah salah satu kesempatan untuk mengambil bagian
dalam kerja dakwah dan setidaknya berkat ‘kemanualan’ itu sehingga
mendidik kami semua menjadi aktivis dakwah yang kreatif pada zaman itu.
Saya belum menyadari sepenuhnya waktu itu kalau mereka (teman
seperjuangan waktu itu) bakal menjadi ‘orang penting’ di LDK pada
zamannya. Begitulah kebersamaan kami, dengan misi mulia, tujuan mulia,
yang melahirkan pejuang super heroik dalam rangka menggapai keberkahan
Allah Azza wa Jalla. Mungkin tidak seheroik perjuangan Bilal ketika
disiksa oleh tuannya, juga tidak seheroik sekelompok pasukan Badar saat
menghancurkan ribuan kaum Musyrikin Quraisy, tidak sehebat Khalid Bin
Walid dan pasukaannya ketika memimpin peperangan, namun setidaknya,
kekuatan sebuah kebersamaan akan tetap indah, nikmat, dan selalu
mengundang kerinduan bagi kami, atau setidaknya bagi diri saya
sendiri. (bukan bermaksud mengungkap dan membesar-besarkan apa yang
telah kami lakukan dalam dakwah, tapi setidaknya ini dapat menjadi
penawar bagi jiwa yang lelah agar bisa tetap bertahan).
Kerikil-kerikil kecil penguji keikhlasan kadang menghampiri kami,
ditambah dengan kerasnya kehidupan kampus dan beragam fitnah yang
menggiurkan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah, tapi
nasehat-nasehat berharga dari Sang Murabbi (begitu kami biasa
memanggilnya) mengalir dan menyejukkan hati, sekan beliau mengerti akan
kondisi kami, sehingga tak bosan-bosannya memberi motivasi bagi jiwa
yang rapuh ini.
Cerita tentang indahnya kebersamaan masih menghiasi lamunanku hari
ini. Indahnya dalam naungan ukhuwah dan mencintai saudara seiman.
Kebersamaan dalam aktivitas dakwah dan kebersamaan dalam menuntut ilmu
agama. Teringat dengan dengan acknowledgement yang saya abadikan
dihalaman awal skripsi saya dulu yang kuperuntukkan bagi ikhwa
seperjuangan saya di LDK “seandainya waktu bisa dihentikan saat
menikmati kebersamaan itu, maka seakan aku tak ingin ada hari esok
lagi” mungkin sebagian orang pada saat itu ketika membaca pernyataan ini
menganggapnya lebay atau sekedar basa basi, tapi jujur memang
demikianlah adanya. Teringat saat bersebelas orang mendengarkan materi
dari Sang Murabbi di rumah salah seorang ikhwa (karena atas undangannya,
sehingga tempat tarbiyah saat itu dipindahkan) dan menikmati hidangan
makanan dengan nuansa kebersanmaan malam itu. Teringat saat bermajlis
‘ilmu kemudian dilanjutkan dengan jamuan makan malam ‘Coto Makassar’.
Teringat saat mendengarkan materi dari Sang Murabbi ditengah dinginnya
malam di wilayah pegunungan Malino Sulawesi Selatan, sambil sesekali
melihat wajah saudara tercinta, ada yang matanya memerah karena
kelelahan, ada yang teklak-tekluk, karena mengantuk yang didukung oleh
dinginnya malam itu, ada yang dengan seriusnya mendengarkan, hingga tak
terasa matanya terpejam, ada yang senyam-senyum sambil sesekali
memegangi HP melihat ada sms masuk atau tidak, ada yang dengan baju
rapi, berkopiah, tetap serius mendengarkan materi dari sang guru, dan
berbagai keunikan lainnya yang membuat bibir ini tak kuasa untuk menahan
senyum.
Keesokan harinya kami menikmati kebersamaan itu di air terjun
Takapala, air terjun ini terletak kurang lebih 5 kilometer dari pusat
Kota Malino Kabupaten Gowa, ini memang jadi salah satu tujuan utama
untuk mereka para pencari pesona keindahan alam, ataupun untuk mereka
yang mencari ketenangan pikiran sehabis bergelut dengan kertas kertas
legal di kantornya masing-masing. Tapi tidak bagi kami saat itu, kami
tidak mencari ketenangan di sana, kami hanya ingin sekedar membuat warna
baru bagi kelompok tarbiyah kami sekaligus melihat ‘keluarbiasaan’ maha
karya Sang Pencipta Kehidupan ini. Masya Allah, Sungguh Allah Maha
Berkuasa atas segala sesuatu. Kami menikmati kebersamaan itu di bawah
percikan air terjun yang sangat dingin, menusuk hingga ke lapisan kulit
terdalam. Belajar berenang bersama ustadz hingga kami menggigil
kedinginan yang memaksa kami untuk sejenak berjemur dan menikmati ubi
goreng di atas batu-batu yang berserakan, semua terasa sangat indah saat
itu.
Ingin rasanya aku kembali ke masa itu, kembali bersama
saudara-saudara tercinta, kembali merasakan nikmatnya kebersamaan dalam
perjuangan, rindu kembali bersama sosok yang telah mengajarkan kepadaku
tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, kesungguhan, komitmen,
konsisten, semangat dalam berjuang menyeru kepada kebaikan. Dan memang
kebersamaan tersebut telah menjadikan satu kenangan terindah yang tidak
akan pernah kulupakan. Dan aku hanya bisa berdo’a kepada Allah, semoga
keistiqomahan dalam perjuangan ini selalu mengiringi langkah-langkah
mereka saat ini dan selamanya. Kalau dulu mereka adalah para
pejuang-pejuang tangguh yang rela mewakafkan diri sepenuhnya untuk
berjuang di jalan Allah, semoga saat ini pun mereka tetap tangguh, dan
lebih tangguh lagi dalam berjuang. Dan semoga kita nanti berjumpa
kembali dan melepas kerinduan yang mendalam itu di surga-Nya Allah.
Tentu saat ini walaupun fisik ini berjauhan, tetapi ikatan yang bernama
ukhuwah akan tetap terpateri dalam hati yang terdalam, akan tetap
terukir indah dalam pahatan peradaban. Dan sebentar lagi, hasil yang
telah disemai dahulu ‘walaupun kecil’ akan segera kita nikmati hasilnya,
dengan kekuatan kebersamaan, walaupun jauh, tetapi aura kemenangan akan
senantiasa terpancar seiring gerak langkah kaki kita. Islam akan tegak
dengan setegak-tegaknya, dan ternyata saudaraku, itu adalah salah satu
bagian perjuangan kita, walau hanya sekadar mengajar mahasiswa baru
untuk baca Qur’an, tetapi setidaknya kita telah mempersiapkan generasi
terbaik untuk kejayaan Islam.
Cerita tentang hangatnya ukhuwah masih akan terus berlanjut. Cerita
tentang kebersamaan dalam perjuangan, merenda dan memintal benang-benang
peradaban bersama orang-orang yang ikhlas membawa misi ini, masih akan
terus berlanjut sampai kapan pun. Meskipun ternyata itu sangat sulit
setidaknya sulit buatku, karena untuk mencapai tahap itu kita sepertinya
harus melewati fase awal dari perjuangan, yakni melawan nafsu diri agar
mampu bersabar dalam kebersamaan. Dan untuk selanjutnya, biarkan
ukhuwah yang akan menuntun kita, aku, engkau dan semua yang menghadirkan
cinta dalam hati terhadap saudara seiman menuju tangga kemuliaan yang
tertinggi, yang akan memuliakan kita dan membuat hidup kita lebih
bermakna. Karena kebersamaan dalam persaudaraan itu sebening prasangka,
sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, sekokoh janji.
Akhee.. Dunia ini bukan tempat istirahat. Sejatinya, tidak pernah ada
kata berhenti untuk terus bertindak, karena dakwah adalah warisan para
Rasul Allah. Serpihan-serpihan kebenaran yang kita pungut sepanjang
perjalanan hidup ini yang kemudian akan mengajarkan kita untuk menjadi
manusia berbudi. Semoga kebersamaan ini akan tetap abadi, dan akan
menjadi cerita indah suatu ketika, antara aku, antum dan kita
semua. Insya Allah